Dua hari lalu kusempatkan pulang kantor lebih awal karena
beberapa hari tidak menunaikan shalat tarawih berjama’ah sepertinya
membuatku merasa menjadi “budak” dari segala bentuk rutinitas melelahkan
di kantor.
Entah mengapa, malam itu rasanya
benar-benar menggebu sekali keinginan untuk bisa shalat tarawih
berjama’ah di musholla sederhana di depan rumahku
Ternyata
setelah kurenungkan, mungkin menggebunya niatku itu adalah salah satu
jalan-Nya untuk “menampar keras” atas kesombonganku selama ini.
Singkat cerita, tibalah aku di musholla kecil di depan rumahku itu dan segera membaur dengan jama’ah yang lain.
Semua terasa biasa saja, tak ada yang istimewa.
Aku berada di shaf ketiga dari empat shaf yang ada.
Raka’at
demi raka’at kulalui dengan berusaha sekhusyu’ mungkin meski sesekali
terdengar jerit anak-anak balita yang belum faham makna shalat yang
sebenarnya.
Tapi setelah beberapa raka’at berlalu,
seperti ada yang ganjil dengan jama’ah yang berada di samping kiriku
karena sekilas kulirik entah kenapa sepertinya dia tidak bisa melakukan
gerakan-gerakan shalat dengan sempurna.
Sesekali kakiku terasa tertindih
saat gerakan duduk, sikutnya yang selalu mendorong kecil bagian tubuh
kiriku saat gerakan sujud dan yang paling mencolok kulihat adalah
sepertinya dia selalu ketinggalan beberapa saat dibanding jama’ah yang
lain saat mengikuti gerakan-gerakan shalat sang imam.
Tibalah
di akhir shalat tarawih menuju witir 3 raka’at dan tradisi di musholla
kami adalah jeda waktu antara tarawih dengan witir akan diisi dengan
kultum dari penceramah yang bergiliran memberikan tausiahnya.
Waktu
itu kupergunakan untuk mengobati penasaranku dengan jama’ah di samping
kiriku itu.
Dan seketika aku kaget bercampur sedih juga haru karena
ternyata dia boleh dibilang seseorang yang berkebutuhan khusus.
Maaf
– kaki kanannya ternyata tidak sempurna, begitu juga dengan kedua
lengannya yang sedikit bengkok menyulitkannya untuk bersedekap dengan
sempurna, dan sepertinya saraf leher atau semacamnya juga terganggu,
terlihat dari sulitnya dia mengendalikan gerakan kepalanya dan
sepertinya selalu bergerak ke arah tengadah tak beraturan.
Mungkin bisa digambarkan seperti –maaf lagi- penderita idiot atau keterbelakangan mental.
Subhanallah….
Tanpa terasa aku lemas seperti hilang tenaga untuk kemudian mataku
mulai berkaca-kaca.
Aku merasa betapa sombongnya aku selama ini.
Dengan
kondisiku yang diberikan fisik yang sangat sempurna oleh-Nya tapi
terkadang bahkan tak ingat hanya untuk sekedar mengucap kata syukur atas
segala nikmat ini.
Shalat yang kadang sengaja di akhir waktu, bahkan
beberapa terlewat karena berbagai alasan yang kubuat sendiri sebagai
pemakluman atas kebodohan yang kubuat.
Sementara si
“jama’ah special” di sampingku itu dengan segala keterbatasan yang
dimiliki, tetap semangat menyelesaikan seluruh raka’at Isya’ dan tarawih
yang terkadang untuk kita yang sempurna saja terasa cukup berat.
Dan
tarawihku malam itu sungguh tarawih yang sangat berkesan di antara
ratusan shalat tarawih yang pernah kulakukan di sepanjang hidupku.
Sahabat
sahabat hati, sengaja kubagi pengalaman kecil ini dengan satu niat
tulus, semoga ini bisa bermanfaat untuk kita semua yang terkadang selalu
melihat bahwa kita dalam kesulitan, tapi jarang merasa bahwa jauh lebih
banyak orang yang lebih sulit daripada kita…
Di akhir kata, semoga kita semua senantiasa termasuk golongan orang-orang yang pandai bersyukur..
Amin..
Bidara Village, 25/07/13
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
~ Di Ujung Lelah ~
tiba di ujung lelah dalam semu senyum atas pemaklumanku pergilah kini ke luas samudra yang engkau pilih tanpa aku di buritan kapalm...
-
dingin senja menabur aroma kemarau menusuk setiap ruas raga di setangkup sisa rasa ini nganga rindu semakin merona menjingga tanpa ku...
-
usah engkau bertanya lagi kapan kita kan menepi untuk berlabuh di pelabuhan impian bukankah samudra itu adalah kita menjadi b...
-
Pak, aku kangen...! Jarik ombo yang dulu dipakai menggendongku sambil disambi kemana-mana itu masih ada pak? Pasti warnanya udah njeblug ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar